ads slot

Latest Posts:

Ajari Aku Mencintai-Nya

Namanya Furqan. Dia adalah satu-satunya murid laki-laki di sekolah ini yang tidak terpesona padaku. Oke, karena tidak ada yang tidak terpesona padaku, maka kukatakan dia adalah satu-satunya murid laki-laki di sekolah ini yang BELUM terpesona padaku.

Sebelumnya perkenalkan orang-orang memanggilku Honey. Itulah sebutanku di sekolah ini.  Mungkin karena kecantikanku dan kemanisan wajahku ini. Bisa dibilang aku adalah murid tercantik dan terpopuler di antara semua murid cewek di sekolah ini bahkan senior kelas XII sekalipun. Dengan kepopuleran itu selama bersekolah hampir dua tahun di SMA ini, tidak ada murid laki-laki di sekolah ini yang tidak mengakui kecantikanku. Mereka memuji kecantikanku, dan tentu saja terpesona padaku.

Setiap hari lokerku dipenuhi coklat dan surat warna pink dari mereka yang menyukai ku dan berninat menjadikanku pacarnya. Tidak hanya coklat dan surat cinta, mereka yang nekat bahkan mengadakan semacam cara gila untuk menyatakan perasaannya padaku mulai dari aksi romantis ‘berlutut di depanku di  depan umum’ sampai pakai acara mau bunuh diri. Dan kebanyakan dari mereka harus patah hati.

Asal kalian tahu saja, aku juga menetapkan beberapa standar dan hanya sedikit orang yang bisa memenuhi standar itu. Pernah sekali aku berpacaran dengan Ketua Osis yang merupakan cowok terpopuler di sekolah. Pernah juga aku berpacaran dengan Ketua Tim Basket yang juga merupakan cowok terkeren di sekolah. Tidak ketinggalan cowok tercupu di sekolah ini pun tidak terlewatkan.

Aku  bukan  gadis  pemakai  jilbab  walaupun  memang  kuakui  aku  Islam. Menurutku, banyak cewek yang memakai jilbab tapi tetap saja kelakuannya bahkan  jauh  lebih  rendah  dari  pada  yang  tidak  berjilbab.  Aku  hanya menginginkan suatu saat ketika aku berjilbab, aku bisa memakai jilbab itu dan mengaplikasikannya di dalam penampilanku dan kepribadianku. Benar-benar sesuatu yang nyaris mustahil.

Betapa pun aku ingin memulainya, entah mengapa ada saja halangannya. Seperti,  ketika  aku  menyampaikan  cita-citaku  itu  pada  Rina,  cewek  yang KUKIRA sahabatku. Apa yang terjadi ketika aku cerita tentang ‘cita-cita’ku itu? Diluar dugaan dia malah menertawaiku dan malah mengatakan ‘lo kesurupan apa, Hone (baca: han)’

Walaupun aku bukan pemakai jilbab, tapi kurasa kelakuanku juga tidak seperti yang dipikirkan orang-orang. Aku gadis yang baik, aku tidak pernah mengambil pacar orang, aku juga tidak pernah di luar rumah di atas pukul  7 malam. Kalaupun aku berkencan dengan pacar-pacarku selama ini, itu semua hanya dilakukan di siang menjelang sore hari. Dan yang terpenting, aku juga tidak pernah berpacaran dengan cowok-cowok yang pergaulannya ‘rusak’. Oke, sekian dariku. Sekarang Furqan.

Namanya saja Furqan. Nama itu entah mengapa ketika kusebut, aku selalu merasakan perasaan yang aneh. Furqan. Furqan. Furqan. Dia cowok yang kalau bisa dibilang benar-benar-benar-benar shaleh. Dia kelas XI IPS D. Kerjanya, kalau bukan di mushallah sekolah pasti ada di perpustakaan bagian sejarah Islam dan hukum-hukum Islam. Anak yang benar-benar religius. Sangat jarang atau bahkan sudah tidak ada di seantereo Bandung ini.

Pernah   kudapati   saat   aku   dalam   perjalanan   menuju   sekolah,   ia memberhentikan sepedanya dan membantu seorang nenek renta menyeberang jalan. Pernah juga dia kudapati membagikan nasi bungkus pada gelandangan yang terletak di persimpangan sana, lagi-lagi dengan sepeda tuanya.

Dia anak yang baik. Bukan sekedar baik. Tapi, ah! Susah dijelaskan. Furqan. Tidak  pernah  sekalipun  aku  melihatnya  bersentuhan  tangan  bahkan  duduk dengan cewek mana pun dalam radius  10 meter. Aku juga tidak pernah melihatnya tanpa kopiah atau pun dengan Al-quran mini di tangannya.
Dan sosok Furqan yang sangat religius itulah yang membuatku sangat terpesona sekaligus sangat penasaran padanya.

Tanpa kusadari setiap aku lewat di depan kelasnya, kepalaku selalu menengok ke dalam kelasnya mencari sosok Furqan dengan alasan ingin melihat-lihat stok cowok XI IPS D. Tanpa kusadari juga, aku malah lebih betah di mushollah setiap pulang  sekolah  memerhatikan  sosok  Furqan  yang  sedang  membaca  AlQurannya.
Semakin lama kuperhatikan, semakin aku terjebak oleh pesona religius Furqan. Mungkin dia adalah orang yang bisa merubahku menjadi diriku yang kuinginkan. Aku ingin menjadi wanita mushlimah seutuhnya.

“Furqan ada?” aku menengok ke dalam kelas XI IPS D saat jam istirahat. Sudah kupastikan, Furqan pasti sedang membaca Al-qurannya di pojok ruangan dekat jendela. Seketika seisi kelas memandangiku dan Furqan secara bergantian.

The School’s Princess one bertemu dengan The School’s Religious one. Semua merasa aneh dengan itu. Dan sebenarnya kalau boleh jujur, aku juga merasa aneh.

Aku duduk kira-kira 7 meter di depan Furqan. Kami berdua hanya duduk tanpa tahu harus memulai dari mana percakapan ini.

“maaf mengganggumu dan menyita waktumu” aku bicara tanpa melihatnya dan malah memerhatikan bunga-bunga yang ada di sekelilingku.

“kalau kau bicara seperti itu, berarti ada sesuatu yang penting” jawabnya dengan nada datar. Entah mengapa saat ini aku baru menyadari kekerenan, pesona, dan ketampanan Furqan.

“hmm…” aku berdehem “aku ingin menjadi wanita mushlimah seutuhnya. Bisa kau membantuku?”

Furqan menampakkan ekspresi heran sesaat dan akhirnya dia tersenyum. Sudah kubilang dia itu tampan. “dengan senang hati akan aku bantu”

Aku berdehem  “aku ingin menjadi wanita mushlimah seutuhnya. Bisa kau membantuku?”

Furqan menampakkan ekspresi heran sesaat dan akhirnya dia tersenyum. Sudah kubilang dia itu tampan. “dengan senang hati akan aku bantu”

Aku  masih  saja  terbayang  dengan  percakapan  pertamaku  dengan  Furqan kemarin. Entah mengapa saat kukatakan aku ingin menjadi wanita muslim seutuhnya, di luar dugaanku, ia malah akan membantuku. Memang aku yakin dia akan membantuku, tapi bisa saja dengan image-ku selama ini, dia malah akan menertawaiku.

Dia berbeda dengan yang lain. Aku yakin itu dan memang, ia berbeda dengan yang lain. Dia anak SMA jurusan IPS yang sangat religius. Kemarin, aku datang menemuinya di kelas untuk mengembalikan buku ibunya, aku sadar, semua orang pasti memerhatikan kami dan pasti berita itu akan tersebar sampai seantereo sekolah.
Tapi, setidaknya kumohon, jangan sampai Ryan yang mengetahui itu.

Oke, sekedar info saja, sekarang status ku sedang tidak berada dalam status jomblo. Yang parahnya lagi, pacarku saat ini over protectif padaku. Bertemu dengan orang lain saja aku harus melapor padanya. Kuharap Ryan tidak tahu ini, walaupun ini nyaris mustahil.

“untuk menjadi seorang muslimah yang kau inginkan..” seperti biasa Furqan sedang berada di perpustakaan membaca buku-buku agama lainnya. Tapi, kali ini dengan kehadiranku di sini, jadilah kegiatan Furqan berubah. Ia bagaikan guru kepribadian bagiku.

Furqan  memberitahuku  semua  yang  ia  ketahui  tentang  menjadi  seorang muslimah yang baik. Mulai cara berbusana sampai cara bersikap semua ia ajarkan padaku. Termasuk hukum berpacaran dalam Islam yang tidak pernah kuketahui dari dulu.

Sadar atau tidak, aku mulai mengucapkan assalamualaikum dalam menjawab teleponku. Setiap aku bertemu dengan teman-temanku, aku tersenyum dan mengucapkan salam. Aku juga tidak lagi menggunakan pakaian yang terlalu ketat, dan aku juga tidak lagi mengumbar senyum sana sini bahkan aku menjadi salah satu anggota remaja mushollah di sekolahku.
Dengan perubahan ini,  aku  mulai  merasa  tenang,  damai,  dan  akh!  Susah dijelaskan, intinya semua ini memberiku banyak perubahan yang sangat sangat bermanfaat bagiku.

Sekarang mengenai Furqan. Sekarang ia sudah mulai bersahabat denganku. Entah   itu   cuman  khayalanku  semata  atau  memang  dia  sepertinya memerlakukanku berbeda dengan yang lainnya. Apakah ini hanya perasaan ku atau bukan aku juga tidak tahu pasti.

Saat pulang sekolah, tiba-tiba saja hujan langsung turun dengan lebatnya. Spontan aku langsung menuju halte bus terdekat dan berteduh di sana. Siapa sangka  di  sana  sudah  berdiri  Furqan  yang  juga  sedang  menunggu  hujan berhenti. Aku tahu itu Furqan dan aku mengucapkan salam seperti biasa. Dia juga menjawabnya dengan biasa.

Mungkin Furqan risih dengan keberadaanku dalam jarak kurang dari 5 meter darinya, Furqan sedikit ke samping untuk memperluas jarak kami. Walaupun itu berarti  sebagian  tubuhnya harus terkena hujan. Kemudian aku dan Furqan hanya sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

“Uswahtun Hasanah” Furqan membuatku kaget dengan gumamannya. Sudah hampir dua tahun aku tidak pernah mendengar kata itu. “aku sangat suka nama itu” Furqan berbalik ke arahku dan berkata“bagaimana menurutmu Uswahtun Hasanah?”

Aku kaget luar biasa kaget, bagaimana mungkin ia tahu nama asliku. Nama yang bahkan guru sekalipun sudah lupakan, nama yang sudah tergantikan dengan nama pemberian teman-teman SMP ku, nama yang bahkan hampir kulupakan. Bagaimana mungkin, Furqan, bisa mengetahui itu?

“setelah  kau  melupakanku,  apakah  kau  bahkan  melupakan  nama  aslimu, Uswah?” aku masih tidak berkata-kata mendengar kalimat yang ditanyakan Furqan.

“kau lebih cocok menggunakan nama itu, karena nama itu istimewa.” Furqan melepas kacamatanya, “apa benar kau melupakan aku, Uswah?”

Semua terasa seperti mimpi. Aku tidak sadar dan mungkin tidak pernah sadar dengan siapa sebenarnya Furqan itu. Aku tidak pernah menyangka Furqan yang ini adalah Furqan yang itu. “kadangkala masa lalumu justru datang disaat masa lalu itu sudah terlupakan” dan kata-kata nenek dulu benar. Hhhh!

hanya mendesah mendapat kenyataan ini. Hanya mendesah berat dan tidak berbuat apa-apa karena aku memang tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau ia Furqan  yang  itu,  bagaimana  dengan ‘perubahanku-menjadi-muslimah-yangkuinginkan?’ apakah lagi-lagi harus berhenti di tengah jalan?

Keesokan  paginya  begitu  aku  melewati  gerbang  sekolah,  mataku  langsung menangkap sosok Furqan dengan sepeda tuanya. Astaga! Aku tidak bisa berkata apa-apa. Ingin rasanya aku menghilang tapi, saat aku baru saja ingin berbalik, ia malah melihatku.

Apa yang harus kulakukan? Dia tersenyum padaku. He-eh? Tersenyum? Aku berbalik ke belakang memastikan siapa sebenarnya yang sedang ia senyumi. Dan aku mendapati tidak ada orang disana.
Semuanya harus kuhadapi. Aku berjalan ke Furqan dan aku tersenyum padanya

“Assalamualaikum…”

“assalamualaikum”  aku  menyapa dan tersenyum pada Furqan dengan hati riang, seolah percakapan kami kemarin tidak pernah terjadi. Saat ini hanya ada satu alasan dalam hatiku, kumohon buat Furqan melupakan percakapan kami kemarin. Ya, percakapan kami.

Tidak terasa satu tahun sudah aku mengenakan jilbab ini. Kain putih yang kugunakan untuk menutup auratku. Benar-benar perubahan yang mencolok dari seorang Honey. Seorang yang dulunya terkenal dengan image cantik, banyak pacar, banyak mantan, dan entahlah apalagi. Kalau boleh jujur aku senang dengan perubahanku ini.

Aku senang bukan berarti semua ini terjadi begitu saja tanpa perjuangan yang keras. Awalnya, mantan-mantanku mengatakan bahwa aku salah pilih jalan, cewek-cewek centil  yang  dulu  selalu  bergaul  dengan  ku  juga  bilang  aku kesambet setan entah darimana. Dan paling parahnya lagi, orang tuaku sendiri bahkan bilang aku sepertinya terkena amnesia, entah terbentur dimana.

Lantas  apa yang kulakukan? Bukan Honey namanya kalau tidak melakukan perlawanan dan mematikan orang-orang yang berkata begitu. Tapi, itu dulu. Sekarang, seperti yang diajarkan Furqan, semuanya akan indah jika dilandaskan dengan ketulusan dan keikhlasan serta ditopang dengan kesabaran.

Aku mengerti apa yang Furqan katakan dan melakukan semuanya. Intinya, berkat Furqan aku bias melalui semua itu dengan baik. Dan sekarang, aku bukan lagi Honey yang cantik, banyak pacar, banyak mantan tapi menjadi seorang Uswahtun Hasanah yang muslimah. Merupakan pasangan yang cocok untuk Furqan.
Sekarang, beralih ke tema lain. Aku adalah pasangan yang cocok untuk Furqan. Siapa yang bilang itu? Entahlah tidak ada yang tahu. Tidak jelas siapa yang bilang  pertama,  atau  sejak  kapan  gossip  itu  beredar.  Yang  pasti,  itu membuatku sadar akan suatu hal. Apa itu?

Perasaan ku pada Furqan. Sebenarnya, apa perasaanku pada Furqan? Hanya seorang teman, sahabat, sahabat dekat, atau lebih? Aku masih bingung. Aku merasa perasaanku pada Furqan lebih dari sepasang sahabat dekat, ya, aku pikir begitu. Sayangnya, aku tidak pernah memikirkan perasaanku pada Furqan seperti itu. Kurasa, aku menyebut perasaan ini sebagai sesuatu yang berada antara kagum, sahabat, dan cinta.

Itulah perasaanku pada Furqan. Masih mengambang. Tidak jelas. Lantas apa perasaan Furqan padaku? Bagaimana perasaan seorang Furqan pada ku? Aku masih sibuk menerka-nerka seperti apa perasaan Furqan padaku, sampai siang ini.
Bel pulang berbunyi, aku sibuk memasukkan semua buku-bukuku dalam tas dan hendak pulang. Siapa sangka Furqan sudah berada di depan pintu kelasku. Apa yang dia lakukan? Tentu saja menungguku.

“Assalaamualaikum“ sapaku pada Furqan dengan senyuman seperti biasa

Furqan tidak menjawab salamku dan sibuk dengan tatapannya yang menatap… ke arahku! Mendapati aku sedang ditatap oleh Furqan aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajah ku yang memerah lantaran malu. Furqan menggeleng sebentar dan akhirnya dia menjawab salamku “Waalaikum salam“ “Ada apa? “

“Tidak  ada  apa-apa,  aku  hanya  mengingatkanmu,  bada  ashar  nanti,  ada pengajian di rumahku. Ibuku menyuruhmu untuk dating ke pengajian itu. “ Jelas Furqan siap “Kau tidak ada acara bukan?“

Aku menggeleng pelan seraya berkata tentu saja tidak kami berdua berjalan beriringan. Furqan, sepeda tuanya, dan aku. Kami membicarakan banyak hal. Ya, setidaknya, lebih banyak dari yang dulu. Bahkan, kudapati  Furqan  tertawa ,  mendengar  ceritaku  tentang  pendapat orang tuaku mengenai jilbab ku ini. Pemandangan yang langka melihatnya tertawa. Tanpa sadar aku menatap Furqan.

“Uswah“ panggil Furqan padaku. Nada bicaranya agak aneh. Aku menggeleng sebentar dan menjawab “Ya?“ menunduk  sebentar  dan  memberhentikan  langkahnya. “Aku  tidak pernah melakukan ini sebelumnya.“ Aku belum pernah menyatakan perasaanku pada perempuan mana pun. Kuperhatikan keringat dingin mengalir dari leher dan dahi Furqan. Setegang itukah dia?

“Lalu?“

“Maaf saja, jika aku menyatakan perasaanku padamu tidak seperti mantanmantan mu yang lalu.“

Otakku berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku belum bias mencerna apa yang dikatakan  Furqan.  Aku  harap kau bersedia  menerima perasaanku padamu. Hening. Aku bahkan bias mendengar dentingan detik jam tangan Furqan saking heningnya. Padahal, ini jam sekolah. Motor, mobil saling membunyikan klakson bersahut-sahutan.

“Tidak bisa.“ Kata-kata itu langsung keluar dari mulutku begitu saja. Refleks. Aku  tidak  bisa  menerima  perasaanmu  itu  Furqan.  Mendengar  itu  Furqan terkejut begitu pula aku.

“Maksudmu?“

“Aku tidak bisa menerima perasaanmu itu. Aku belum siap. Aku masih perlu banyak belajar  dengan  kemuslimahanku  ini.  Sekarang  ini,  aku  ingin  focus Furqan. Aku ingin focus pada cita-citaku dan cinta-Nya.“ Jantungku berdegup kencang mengatakan itu. Alhamdulillah, ini cobaan lainnya.

Furqan tersenyum masam. “Kau benar-benar berubah, Uswahtun Hasanah.“ “Ya, itulah aku berkat kau.“ Jawabku dengan senyuman juga. “Lalu? Bagaimana perasaanmu padaku?“ Tanya Furqan lagi.

Aku menghentikan langkahku, begitu juga dengan Furqan. Aku bingung harus berkata apa, Bismillahhirrahmanirrahim “aku juga punya perasaan yang sama padamu“ dan aku berlari kecil meninggalkan Furqan yang masih mematung dengan jawaban ku tadi.
REUNI SMA Negeri 3 Bandung tahun angkatan 2011/2012. Aku membaca pelan undangan reuni SMA ku ini. Ini akan dilakukan 3 hari lagi. Hhhh! Aku menutup mata pelan. Berusaha menenangkan pikiranku setelah hampir 6 jam disibukkan mengajar anak TK ini.
Disaat  itulah  aku  melihatnya  lagi.  Aku  melihat  kejadian  ketika  Furqan menyatakan  perasaannya  padaku.  Dan  betapa  bodohnya  aku,  aku  malah menolak Furqan. Padahal aku memiliki perasaan yang sama dengannya. Hhhh!!

Kuharap aku masih punya kesempatan lagi. Setidaknya untuk melihat Furqan. Menyadari keinginan ku itu. Aku membuka mata dan mengambil undangan reuni itu. REUNI. Mungkin Furqan akan dating di sana.
Harus  kuakui.  Aku  dan  Furqan  semacam  kehilangan  kontak  sama  sekali. Terakhir  bertemu  dengannya  saat  aku  pamitan  akan  kembali  ke  Aceh mengikuti Nenekku. Hanya sampai disitu. Terlebih lagi ponselku yang berisi nomer ponsel Furqan pun raib dicuri.

Tanpa tunggu lagi,  aku  langsung  mengambil  tasku  dan  menuju  ke ruang kepsek.  Aku  ingin  minta  cuti.  Dan  siapa  sangka  kepsek  memberikan  cuti seminggu. Ku rasa seminggu itu cukup. Aku mengucapkan terima kasih.

Sampai dirumah, aku langsung mengambil baju dan memasukkannya ke dalam tas tangan yang cukup besar. Aku berencan untuk tinggal disana beberapa hari, setidaknya aku juga bisa melihat keadaan rumah peninggalan mendiang ayah dan ibu.

Setelah  beberapa  hari  perjalanan,  akhirnya  aku  sampai  di  Bandung.  Aku menuju ke rumah orang tuaku dulu, dan berharap ada kamar kosong yang bisa kugunakan  untuk  tinggal  beberapa  hari  ini.  Pasalnya,  rumah  ini  sudah dijadikan rumah kos-kosan. Ya. Mudah-mudahan saja.

Akhirnya hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Aku diantar oleh Rasma, yang menyewa kos-kosan di rumahku mengantar ku ke SMA ku tempat reuni itu. Hatiku deg-degan membayangkan bagaimana Furqan sekarang ini. Aku berdoa dalam hati agar Furqan bisa hadir dalam Reuni ini. Insya Allah.

Aku memasuki aula tempat reuni itu. Sampai acara dimulai aku terus saja mencari Furqan. Aku mendesah mendapati kenyataan bahwa tidak ada Furqan di sini bahkan setelah acara reuni ini selesai. Dan jadilah reuni yang kutunggutunggu menjadi hal yang tidak begitu penting lagi.

Sekarang penyesalan membumbung tinggi dalam hatiku. Semestinya aku tidak menolak Furqan, semestinya aku tidak pergi ke Aceh, dan semestinya ponselku tidak  hilang.  Aku  berusaha  menyalahkan  semuanya.  Bahkan  aku  sampai menyalahkan orang tua ku yang meninggal di saat yang tidak tepat.

Aku khilaf. Astagfirullah, aku mengucapkan kalimat itu berulang kali hingga aku menitikkan air mata. Aku terduduk di taman dimana aku dan Furqan dulu pertama kali  bicara.  Pelan-pelan  air  mataku  terus  jatuh  hingga  akhirnya mengalir dengan deras.

“Tidak ada yang salah“. Aku mengucapkan kalimat itu sambil menyeka air mata yang terus mengalir di pipiku . “Tidak ada yang salah kecuali aku. Aku benar-benar menyesal“

“Uswah? Apa itu benar kau? “

Aku berbalik mendapati suara yang tidak asing lagi di telinga aku. Senyumku merekah walau dengan air mata yang masih mengalir begitu mengetahui orang itu adalah Furqan. “Furqan? “

“Ya ini aku. Furqan. Aku sudah mencari-carimu kemana-mana.“ Aku masih terdiam dan terus memandangi wajah Furqan. “Apa yang kau lakukan di sini. Ayo, kuantar kau pulang.“

Aku menurut saja ketika Furqan memberikan ku isyarat agar mengikutinya. Aku masih sibuk memandangi punggung Furqan yang masih berjalan ketika tiba-tiba ia berhenti. Spontan aku pun berhenti.

“Aku sudah menunggu terlalu lama. 10 tahun Uswah.“ Furqan menunjukkan 10 jarinya “aku takkan basa basi lagi. Dengan seluruh kesadaranku, restu Allah, dan restu Orang tua ku“ Furqan berhenti bicara dan menarik napas dalam “Bismillahirrahmanirrahim mau kah kau menjadi pendampingku sampai Tuhan mencabut nyawa kita masing-masing?“

Aku tidak pernah membayangkan ini. Aku dilamar Furqan? Ini sama sekali tidak ada  dalam  banyanganku.  Hening.  Sampai-sampai  aku  bisa  mendengar dentingan detik jam tangan Furqan sama seperti dulu. 10 tahun lalu.

Ketika  Furqan menyatakan perasaannya padaku dan aku menolaknya. Dan malah membuatku menyesal. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. “Bismillahirrahmanirrahim ya, aku bersedia. Agar kau bisa lebih mengAjari Aku Mencintai-Nya“ 
Share on Google Plus

About Idul Akbar

Hi, I was the publisher of this blog. All of this I provide for you. contains ideas daily and my personal lifestyle. it is proper we share, because it is in accordance with the motto of my life; "Helpful for others" and "Tell goodness though only for palm seeds"
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar: